“Kau tahu bagaimana caranya agar kita tahu bahwa semesta mendukung apa yang kita lakukan?” Tanyanya.
“Bagaimana?” Tanggapku.
“You just knew. Misalnya seperti ini. Kau sedang menumpahkan keluh kesahmu pada seseorang, lalu kau tiba-tiba mendengar lagu di radio yang sangat cocok dengan situasimu. Seperti langit yang mulai mendung namun kau memaksa tetap pergi ke puncak, dan ternyata disana sangat cerah. Seperti kau yang menepati janji untuk mengunjungiku walau awalnya kau tidak yakin keadaan akan memungkinkan. Semesta selalu mengambil andil dalam setiap hal yang kau lakukan.”
“Tapi… Bagaimana dengan cinta?”
“Bagaimana dengan hal itu?”
“Semesta begitu mendukungku dalam segala hal, tapi tidak dengan cinta.”
“Mengapa begitu?”
“Entah aku yang begitu egois, atau memang aku yang tidak mahir dalam masalah cinta. Namun kenyataan itulah yang membuatku berpikir bahwa semesta begitu tidak adil. Tapi aku akan begitu berdosa jika mengutuki semesta.”
“…..”
“Kini kau hanya diam.”
“Bukannya aku ingin menyinggung perasaanmu.”
“Mengapa?”
“Tidakkah kau melihat sekelilingmu?”
“Ada apa dengannya?”
“Kau dikelilingi oleh begitu banyak cinta. Cinta dari orang-orang di sekitarmu, keluargamu, kawan-kawanmu, aku? Kau sama sekali tidak merasakannya?”
“Aku…”
“Mungkin semesta sudah begitu mengambil andil dalam segalanya.”
“Maaf…”
“Bukan inikah yang kau harapkan?”
Aku kehabisan kata-kata.
“Jika semesta ini diibaratkan dengan buku, yang kau baca hanyalah halaman yang kosong. Tidak ada apapun yang bisa kau ambil, tidak ada apapun yang bisa kau pelajari. Buku itu seperti tak ada artinya. Tidakkah kau kasihan pada banyaknya halaman yang tak kau anggap adanya? Mereka yang membuahkan banyak ilmu, kini bagaikan ruang hampa karena dalihmu. Dan aku salah satunya.”
“Aku… Aku bisa mengisi halaman yang kosong itu dengan…”
“Imajinasi? Harapan? Tidakkah kau paham bahwa halaman yang kosong itu ada agar kau terus membaliknya, membaca apa yang ada?”
“…”
“Aku menyayangimu hingga sakit sekali rasanya. Tapi aku tidak menyalahkan semesta. Mungkin aku memang ditakdirkan untuk bersabar. Bersabar untuk menunggu lembaran baru dalam buku kehidupanku.”
“Aku tahu. Aku tahu kasih sayangmu begitu dalam. Jangan bicara seperti itu.”
“Aku tahu aku bukan yang kau inginkan untuk mendampingimu. Tapi tak apa kah jika aku tetap disini? Setidaknya mengisi sedikit demi sedikit dari porsiku dalam hidupmu. Setidaknya selama semesta mengizinkan, dan aku tahu semesta tidak seegois itu.”
“Bantulah aku mengerti… Maafkan aku. Aku hanya secuil bagian dari semesta.”
Semesta.
Semesta itu ibarat buku. Kita hanyalah sebagian kecil darinya. Tapi tak ada salahnya bagi kita untuk melengkapinya. Walau hanya satu kalimat saja. Tak apa, selama kalimat itu terbaca dengan indah, dan bermakna. Meninggalkan suatu penafsiran yang suatu saat nanti jadi pegangan orang yang membacanya.