A Spill about The Universe

tumblr_static_tumblr_static_b429orpgu7ksw8cs4sscsgc0k_640

“Kau tahu bagaimana caranya agar kita tahu bahwa semesta mendukung apa yang kita lakukan?” Tanyanya.

“Bagaimana?” Tanggapku.

“You just knew. Misalnya seperti ini. Kau sedang menumpahkan keluh kesahmu pada seseorang, lalu kau tiba-tiba mendengar lagu di radio yang sangat cocok dengan situasimu. Seperti langit yang mulai mendung namun kau memaksa tetap pergi ke puncak, dan ternyata disana sangat cerah. Seperti kau yang menepati janji untuk mengunjungiku walau awalnya kau tidak yakin keadaan akan memungkinkan. Semesta selalu mengambil andil dalam setiap hal yang kau lakukan.”

“Tapi… Bagaimana dengan cinta?”

“Bagaimana dengan hal itu?”

“Semesta begitu mendukungku dalam segala hal, tapi tidak dengan cinta.”

“Mengapa begitu?”

“Entah aku yang begitu egois, atau memang aku yang tidak mahir dalam masalah cinta. Namun kenyataan itulah yang membuatku berpikir bahwa semesta begitu tidak adil. Tapi aku akan begitu berdosa jika mengutuki semesta.”

“…..”

“Kini kau hanya diam.”

“Bukannya aku ingin menyinggung perasaanmu.”

“Mengapa?”

“Tidakkah kau melihat sekelilingmu?”

“Ada apa dengannya?”

“Kau dikelilingi oleh begitu banyak cinta. Cinta dari orang-orang di sekitarmu, keluargamu, kawan-kawanmu, aku? Kau sama sekali tidak merasakannya?”

“Aku…”

“Mungkin semesta sudah begitu mengambil andil dalam segalanya.”

“Maaf…”

“Bukan inikah yang kau harapkan?”

Aku kehabisan kata-kata.

“Jika semesta ini diibaratkan dengan buku, yang kau baca hanyalah halaman yang kosong. Tidak ada apapun yang bisa kau ambil, tidak ada apapun yang bisa kau pelajari. Buku itu seperti tak ada artinya. Tidakkah kau kasihan pada banyaknya halaman yang tak kau anggap adanya? Mereka yang membuahkan banyak ilmu, kini bagaikan ruang hampa karena dalihmu. Dan aku salah satunya.”

“Aku… Aku bisa mengisi halaman yang kosong itu dengan…”

“Imajinasi? Harapan? Tidakkah kau paham bahwa halaman yang kosong itu ada agar kau terus membaliknya, membaca apa yang ada?”

“…”

“Aku menyayangimu hingga sakit sekali rasanya. Tapi aku tidak menyalahkan semesta. Mungkin aku memang ditakdirkan untuk bersabar. Bersabar untuk menunggu lembaran baru dalam buku kehidupanku.”

“Aku tahu. Aku tahu kasih sayangmu begitu dalam. Jangan bicara seperti itu.”

“Aku tahu aku bukan yang kau inginkan untuk mendampingimu. Tapi tak apa kah jika aku tetap disini? Setidaknya mengisi sedikit demi sedikit dari porsiku dalam hidupmu. Setidaknya selama semesta mengizinkan, dan aku tahu semesta tidak seegois itu.”

“Bantulah aku mengerti… Maafkan aku. Aku hanya secuil bagian dari semesta.”

Semesta.

Semesta itu ibarat buku. Kita hanyalah sebagian kecil darinya. Tapi tak ada salahnya bagi kita untuk melengkapinya. Walau hanya satu kalimat saja. Tak apa, selama kalimat itu terbaca dengan indah, dan bermakna. Meninggalkan suatu penafsiran yang suatu saat nanti jadi pegangan orang yang membacanya.

Mendung

image.jpeg

“Ah, awan gelap sudah mulai terlihat. Aku harus pulang sekarang.” Kataku.

Aku sudah menghabiskan waktu hampir 2 jam menemani Joe menyelesaikan tugasnya. Tapi bukannya fokus pada laptopnya, matanya justru terus tertuju pada smartphonenya. Untuk apa lagi kalau bukan untuk terus mengabari pacarnya, Sasa.

“Yah, Le. Temani aku sampai semua tugas ini selesai. Aku pasti akan mengantarmu pulang kok.” Jawabnya.

Aku tak habis pikir dengannya. Tugas Applied Literary Criticism tidak sesulit itu untuk dikerjakan. Mungkin karena kenyataan itu Joe menganggap remeh dan terus memalingkan mata dan pikirannya pada Sasa.

“Aku bosan menemanimu, aku pikir kau mengajakku kesini karena kau ingin segera mengumpulkannya besok pagi. Kau tahu Bu Yeni tidak suka kalau mahasiswanya mengerjakan tugas dengan asal-asalan. Sebaiknya kau selesaikan saja tugasmu sendiri, aku bisa pulang naik taksi.” Tanggapku ketus.

“Ale… Aku yang akan mengantarmu pulang. Sebentar lagi, aku hampir menyelesaikannya. Kau tahu aku sudah lama tidak bertemu Sasa, dan dia sedang butuh perhatian lebih. Mengertilah. Kau kan sahabat terbaikku.”

Joe selalu tahu kalimat yang tepat untuk meluluhkanku, walaupun itu tidak menghilangkan kekesalanku. Aku hanya mengangguk dengan menghela nafas. Dalam batin aku bersumpah akan memukulnya jika nilainya berakhir buruk. Aku tidak mau waktu yang terbuang untuk menemani dan mengajari Joe berakhir sia-sia.

“30 menit. Itu waktu yang kau punya. Dan pastikan kau menyetaknya dengan rapi, dan tulis namamu di sebelah kanan atas, dan juga nomor indukmu. Kau sering lupa.” Lanjutku.

“Gila. Kau tahu kan kau yang paling mengerti aku? Aku tidak akan lupa kalau kau sudah mengingatkanku. Siapa yang bisa lupa kalau kau sudah memasang muka menyeramkanmu itu? Hahaha”

“Tidak lucu. Cepat selesaikan, kau membuang banyak waktu.”

“Le… Berhentilah bermuka masam, itu membuatmu jelek. Sini sini kau butuh pelukan?” Jawab Joe sambil merentangkan tangannya.

“Bodoh! Berhentilah bercanda, aku sedang serius!”

Si bodoh Joe terus merentangkan tangannya menungguku masuk dalam pelukannya. Dia selalu berperilaku bodoh, tapi itulah dia. Kekonyolannya mengikatku erat. Perlahan aku masuk dalam dekapannya.

“Sudah puas belum? Kau sangat membuatku kesal.”

“Belum. Kita akan terus seperti ini sampai kau berhenti kesal padaku.”

Aku terdiam. Dia selalu bisa membacaku. Dia tahu alasan sebenarnya mengapa aku begitu kesal.

“Maaf.” Kataku.

“Iya.”

Langit semakin gelap, titik-titik hujan mulai jatuh. Perlahan hatiku diselimuti kehangatan, walau angin yang dingin mulai berhembus.